Friday, April 25, 2014

Masjid Mahmudiyah (Masjid Suro), Palembang - Mesjid Ki Gede Ing Suro Palembang







Mesjid Ki Gede Ing Suro Palembang


Mesjid besar Al Mahmudiyah di Jl Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang merupakan salah satu mesjid bersejarah. Siapa sangka, tempat ibadah umat muslim yang akrab disebut Mesjid Suro ini sempat terlantar sejak didirikan oleh Ki H Abdurahman Delamat tahun 1889. Tak tanggung-tanggung, mesjid ini terlantar hingga 32 tahun pada zaman penjajahan kolonial Belanda.

Keterangan Lukman Nulhakim, sekretaris Mesjid Al Mahmudiyah, perjuangan Ki H Abdurahman Delamat mendirikan Masjid Al Mahmudiyah mendapat tentangan keras penjajah Belanda. Usai mendirikan mesjid ini, sesuai dengan nama lokasi masjid, Jl Ki Gede Ing Suro, Ki H Abdurahman Delamat mendapat panggilan dari residen Belanda. “H. Abdurahman Delamat mendapat peringatan agar tidak melakukan shalat Jumat serta shalat berjemaah di masjid yang baru dibangunnya,” ungkap Lukman.

Dalam pandangan Belanda, H Abdurahman menyampaikan dakwah terselubung tentang pentingnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Hanya saja, berdasarkan catatan yang dikumpulkan langsung oleh Hasan Basri, cucu Ki H Abdurahman Delamat, Belanda khawatir terhadap banyaknya keanehan yang terjadi selama pendirian mesjid. Tidak disebutkan secara rinci pekerjaan H Abdurahman Delamat berdasarkan catatan Hasan Basri. Tidak seperti Mgs. Abdul Hamid bin Mahmud atau Kiai Merogan yang dikenal sebagai saudagar kayu dan membiayai sendiri Mesjid Kiai Muara Ogan serta Mesjid Lawang Kidul yang membutuhkan biaya sangat besar.

H. Abdurahman sendiri konon mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk membangun Mesjid Suro setelah shalat Tahajud dan berdoa meminta rezeki. Setelah itu, di bawah sajadahnya, didapatilah uang yang kemudian dipergunakan untuk membayar gaji pekerja mesjid serta membeli bahan bangunan. Residen Belanda yang sempat meminta penjelasan dana pembangunan mesjid sempat dibuat tercengang. Ketika Ki H. Abdurahman Delamat membawa satu karung uang. Padahal, isi karung tersebut konon awalnya hanya serutan kayu.

Keanehan lainnya, balok kayu penyangga mesjid yang tidak mencapai atap, menjadi panjang berkat doanya. Pernah juga kata Lukman, puluhan pekerja mendorong kayu dari Sungai Musi menuju mesjid. Beratnya kayu tersebut membuat pekerja sulit menggerakkan balok kayu. Oleh H. Abdurahman, balok kayu didorong dari belakang. Dengan bantuan beberapa pekerja saja, kayu besar tersebut bisa dibawa ke mesjid. Termasuk kayu balok penyangga mesjid, yang dinilai tukang sebagai kayu kelas tiga, selesai dipasang dan digosok oleh H. Abdurahman Delamat, balok itu menjadi kayu kelas satu. “Semua kejadian ini disaksikan oleh tukang serta masyarakat yang bergotong royong membangun mesjid,” ujar Lukman.

Alhasil, dari semua keanehan tersebut, Residen Belanda mendesak Ki H. Abdurahman Delamat meninggalkan Palembang. Khawatir dengan kehebatan dan kharisma besarnya.
Permintaan tersebut disetujui. Ki H. Delamat hanya meminta syarat, ketika meninggal dapat dikebumikan di dalam mesjid yang dibangunnya. Syarat diajukan Ki H Delamat disetujui residen Belanda.

Setelah mengungsi, kepengurusan Mesjid Al Mahmudiyah diserahkan pada Ki Kgs. H Mahmud Usman. Namun, tak lama berselang Ki Kgs. H Mahmud Usman meninggal, masjid sempat terbengkalai. Satu mesjid lainnya, juga dibangun Ki H. Delamat di 36 Ilir yang belum selesai terbangun, terpaksa di tinggalkan (sekarang Masjid Ardaniyyah).

Ki H. Delamat sendiri, dalam pengungsiannya di dusun Serika meninggal pada tahun 1892. Oleh dua anaknya, H Abdul Kodir dan HM. Yusuf, makam Ki H Delamat dibongkar kemudian dibawa ke Palembang. Dimakamkan di belakang mimbar mesjid sesuai persetujuan ayah mereka bersama residen Belanda kala itu.

Hanya saja, ketika mengetahui jenazah Ki H Delamat telah dipindah ke Mesjid Al Mahmudiyah, Residen Belanda marah dan meminta makam segera dipindahkan. Namun, dibantu tahanan Belanda, kotak jenazah Ki H Delamat yang terendam dan mengeluarkan aroma wangi tak dapat diangkat. Tali pengangkat peti malah sempat putus.”“Makam baru bisa dipindah ke belakang sekolah Nurul Falah, 30 Ilir setelah anak Ki H Delamat meminta bantuan Kiai Merogan sebagai orang dekat Ki H Delamat. Kiai Merogan hanya mengucapkan beberapa kata, meminta Ki H Delamat tidak menyusahkan anaknya. Setelah perkataan itu, hanya dengan dua orang, kotak kayu berhasil diangkat,” jelas Lukman. Wallahualam bishawab.



Jadi Gudang Penyimpanan Senjata

Setelah telantar cukup lama, tahun 1919, atas prakarsa Ki Kms H Syekh Zahri dan pemuka agama serta masyarakat 30 Ilir, diadakan pertemuan, memusyawarahkan kepengurusan mesjid. Dari pertemuan itu, terpilihlah Kgs H Ali Mahmud sebagai ketua pengurus mesjid. Pada kepengurusan yang diketuai Ali Mahmud inilah Masjid Al Mahmudiyah kemudian dipugar. Termasuk membangun kolam bertangga batu serta pembangunan menara.

Tahun 1921, barulah Residen Belanda memberikan izin untuk melakukan shalat Jumat di Masjid Al Mahmudiyah. Berarti sejak tahun 1889 hingga tahun 1921, Mesjid Al Mahmudiyah telah terlantar dan tidak pernah diizinkan melakukan aktivitas shalat Jumat.

Saat Jepang menduduki Indonesia, Mesjid Al Mahmudiyah sempat bertambah fungsi. Selain untuk shalat Jumat dan shalat lima waktu, mesjid ini juga digunakan para pejuang kemerdekaan sebagai tempat penyimpanan senjata berupa mortir, senapan, meriam hingga granat. Bahkan, demi perjuangan kemerdekaan, mesjid ini digunakan sebagai markas Badan Pelopor Republik Indonesia (BPRI).

Kolam Bertangga Jadi Ciri Khas

Masuk dari samping Mesjid Suro, terdapat kolam besar, berukuran 10×10 meter. Sekilas kolam tersebut layaknya kolam ikan. Pasalnya, terdapat cukup banyak ikan beragam jenis dan ukuran berenang di dalamnya. Ternyata, kolam ini bukan kolam biasa. Kolam yang mampu menampung empat tangki air ini merupakan tempat mengambil wudhu bagi jemaah Mesjid Suro.

Kolam ini bisa dikatakan ciri khas mesjid. Pasalnya, jarang sekali didapati tempat wudhu seperti ini. Kebanyakan mesjid, saat ini menggunakan air ledeng dan menampungnya di bak besar, kemudian mengalirkannya melalui keran bagi jemaah mengambil wudhu.

Kolam ini digali pada tahun 1920, tepat di bagian luar Mesjid Suro. Dibuat bertingkat layaknya anak tangga, memudahkan jemaah mengambil air wudhu. Dalam  perkembangannya, kolam tersebut menjadi bagian dalam mesjid dan dibalut dengan keramik. Dan hingga kini tetap digunakan, meskipun terdapat tempat mengambil wudhu di bagian depan mesjid menggunakan keran ledeng.

Air kolam sendiri terlihat jernih. Tiap seminggu hingga sepuluh hari, kolam dikuras pengurus mesjid. Meski sebenarnya, air di dalam kolam terus diisi sedikit demi sedikit menggunakan air ledeng dan ditambah mata air di dasar kolam. Ada juga lubang kecil tempat air dikeluarkan. Membuat air terus mengalir.

Nah, fungsi ikan sendiri ternyata untuk memakan jentik nyamuk, serta kotoran yang menempel di dinding kolam. Karena itu, jenis ikan dipilih, kebanyak jenis ikan sapu-sapu yang gemar makan lumut.

No comments:

Post a Comment